Saturday, November 12, 2011

Ribut , hujan , mentari , pelangi

"ana buka blog seorang senior ana. ana tertarik dengan salah satu artikel yang dipost olehnya. ana pun copy lalu ana kongsikan di blog ana."

Terima kasih,

 Kak Faten Nadhirah Muhd.Fauzi  (clik di sini)




[ kisah ini saya tujukan khas buat si dia. :) ]

Saban pagi, saya menyaksikan awan mendung berarak seiring dengan tiupan kencang angin ribut. Usah dikata bagaimana gentarnya hati melihat kegelapan langit pagi. Apakah sang mentari akan bersinar lagi? Atau.. kegelapan terus menyelubungi? Masih ada harapankah?

Entahlah, adakalanya, saya merasakan bahawa alam menggambarkan apa yang bermain di hati. Benarkah begitu? Atau, cara saya memandang alam yang mempengaruhi cuaca ? Entahlah.. Apa yang pasti, hati saya juga dipenuhi awan mendung dan angin ribut, serta masih menanti saat mentari bersinar memberi harapan. Tapi, sampai bila saya harus begini, menanti dan terus menanti? Puas saya menanti, namun, tiada tanda sinar mentari. Adakah saya perlu menanti? Atau saya sepatutnya mencari?

Saya menoleh, ' dia' juga seperti saya. Ya, kami berdua sedang ditimpa ribut. Namun, masing-masing hanya berdiam diri, meskipun ketakutan dan kebimbangan menyelubungi. Namun, mata tidak pernah menipu. Jelas terpancar darinya meskipun mulut tidak bersuara.

" Awak okey? "

" Okey. Tak ada apa-apa, lah... Betul, tak tipu... "

Itulah skrip kami saban hari. Tetapi, tuluskah kata itu? Tak tipu... atau... menipu diri? Ribut semakin kencang. Ombak di lautan semakin mengganas. Namun, kami masih di sampan masing-masing, terus berdiam diri. Serba-salah, barangkali. Lebih membimbangkan, sampan kami hampir pecah. Jika ia pecah, alamatnya, tenggelamlah kami berdua. Eh, bukan kami berdua sahaja , bahkan semuanya. Pelayaran itu akan terhenti.

Hujan mulai turun membasahi bumi, seolah menjadi saksi pada dua petang itu. Alam seakan memahami bahawa kami memerlukan hujan itu. Hujan dari hati.

" Awak, saya rasa saya kena runtuhkan tembok itu. "

" Bukan awak. Bukan juga saya, tetapi, kita. "

Hujan semakin lebat. Air deras mengalir, membersihkan lumpur yang meyelimuti hati. Penuh ketulusan dan ketelusan. Perlahan-lahan, tembok itu runtuh, cair dibasahi hujan. Sungguh, tidak terucap rasa syukur. Hujan pagi itu adalah hujan rahmat, merupakan tanda satu permulaan yang baik.

Ya, ia bermula. Matahari kian menampakkan wajahnya, di celah-celah awan mendung. Wajah yang dulunya keruh, kini disinari cahaya pengharapan, dihiasi sinaran mentari. Kami kini berada di sebuah kapal besar yang lebih teguh dan utuh, lantaran dibina atas tautan hati yang berpaksikan iman dan taqwa. Ya, wajah baru, semangat baru. Ruhuljadid.

Sang mentari sudah bersinar terang. Pelayaran tetap diteruskan. Entah bila dan di mana titik penghujungnya, kami sendiri tidak tahu. Namun, kami tidak lagi gentar. Kerana kami yakin, pelayaran ini akan diharungi bersama. Ya, segalanya bersama. Memori di sampan usang , kami akan simpan di hati, dirakam sebagai memori supaya khilaf dulu tidak berulang kembali.

Hujan dan panas silih berganti. Kapal kami terus berlayar, membelah samudera luas. Dari tingkap, saya menikmati pandangan langit nan biru. Nun di sana tinggi, ada hadiah dari Ilahi. Sang pelangi menampakkan wajahnya, menandakan detik kemenangan kian menghampiri. Alhamdulillah. Terima kasih, ya Allah, terima kasih..


Moga Allah redha ^^