"ana buka blog seorang senior ana. ana tertarik dengan salah satu artikel yang dipost olehnya. ana pun copy lalu ana kongsikan di blog ana."
Terima kasih,
Kak Faten Nadhirah Muhd.Fauzi (clik di sini)
Saban
pagi, saya menyaksikan awan mendung berarak seiring dengan tiupan
kencang angin ribut. Usah dikata bagaimana gentarnya hati melihat
kegelapan langit pagi. Apakah sang mentari akan bersinar lagi? Atau..
kegelapan terus menyelubungi? Masih ada harapankah?
Entahlah,
adakalanya, saya merasakan bahawa alam menggambarkan apa yang bermain
di hati. Benarkah begitu? Atau, cara saya memandang alam yang
mempengaruhi cuaca ? Entahlah.. Apa yang pasti, hati saya juga dipenuhi
awan mendung dan angin ribut, serta masih menanti saat mentari bersinar
memberi harapan. Tapi, sampai bila saya harus begini, menanti dan terus
menanti? Puas saya menanti, namun, tiada tanda sinar mentari. Adakah
saya perlu menanti? Atau saya sepatutnya mencari?
Saya
menoleh, ' dia' juga seperti saya. Ya, kami berdua sedang ditimpa
ribut. Namun, masing-masing hanya berdiam diri, meskipun ketakutan dan
kebimbangan menyelubungi. Namun, mata tidak pernah menipu. Jelas
terpancar darinya meskipun mulut tidak bersuara.
" Awak okey? "
" Okey. Tak ada apa-apa, lah... Betul, tak tipu... "
Itulah
skrip kami saban hari. Tetapi, tuluskah kata itu? Tak tipu... atau...
menipu diri? Ribut semakin kencang. Ombak di lautan semakin mengganas.
Namun, kami masih di sampan masing-masing, terus berdiam diri.
Serba-salah, barangkali. Lebih membimbangkan, sampan kami hampir pecah.
Jika ia pecah, alamatnya, tenggelamlah kami berdua. Eh, bukan kami
berdua sahaja , bahkan semuanya. Pelayaran itu akan terhenti.
Hujan
mulai turun membasahi bumi, seolah menjadi saksi pada dua petang itu.
Alam seakan memahami bahawa kami memerlukan hujan itu. Hujan dari hati.
" Awak, saya rasa saya kena runtuhkan tembok itu. "
" Bukan awak. Bukan juga saya, tetapi, kita. "
Hujan
semakin lebat. Air deras mengalir, membersihkan lumpur yang meyelimuti
hati. Penuh ketulusan dan ketelusan. Perlahan-lahan, tembok itu runtuh,
cair dibasahi hujan. Sungguh, tidak terucap rasa syukur. Hujan pagi itu
adalah hujan rahmat, merupakan tanda satu permulaan yang baik.
Ya,
ia bermula. Matahari kian menampakkan wajahnya, di celah-celah awan
mendung. Wajah yang dulunya keruh, kini disinari cahaya pengharapan,
dihiasi sinaran mentari. Kami kini berada di sebuah kapal besar yang
lebih teguh dan utuh, lantaran dibina atas tautan hati yang berpaksikan
iman dan taqwa. Ya, wajah baru, semangat baru. Ruhuljadid.
Sang
mentari sudah bersinar terang. Pelayaran tetap diteruskan. Entah bila
dan di mana titik penghujungnya, kami sendiri tidak tahu. Namun, kami
tidak lagi gentar. Kerana kami yakin, pelayaran ini akan diharungi
bersama. Ya, segalanya bersama. Memori di sampan usang , kami akan
simpan di hati, dirakam sebagai memori supaya khilaf dulu tidak berulang
kembali.
Hujan
dan panas silih berganti. Kapal kami terus berlayar, membelah samudera
luas. Dari tingkap, saya menikmati pandangan langit nan biru. Nun di
sana tinggi, ada hadiah dari Ilahi. Sang pelangi menampakkan wajahnya,
menandakan detik kemenangan kian menghampiri. Alhamdulillah. Terima kasih, ya Allah, terima kasih..